tirto.id - Saat uang dipalsukan, teknologi pendeteksi uang palsu pun turut berkembang. Kondisi serupa juga terjadi pada barang-barang mewah khususnya produk fashion yang tak luput dari pemalsuan seperti tas Hermes, LV, Gucci dan sebagainya. Kini, teknologi pendeteksi produk palsu pada merek kelas premium juga lahir antara lain yang dikembangkan oleh Entrupy.
Entrupy, startup yang pada Juli lalu menerima pendanaan senilai $2,6 juta dari Digital Garage. Entrupy menawarkan alat pendeteksi keaslian produk fashion. Alat ini bekerja dengan memadukan aplikasi di ponsel pintar dan sebuah perangkat khusus yang ditempelkan pada barang yang akan diuji keasliannya. Teknologi pendeteksi barang palsu ini sejatinya bukanlah temuan baru.
Layanan Entrupy tak menyasar segmen masyarakat umum. Ia menyasar segmen bisnis yang berhubungan dengan penjualan barang-barang mewah khusus fashion. Dari laman resminya, Entrupy menawarkan beberapa paket berlangganan untuk menggunakan produk pendeteksian mereka. Dari mulai paket basis, yang ditujukan bagi perusahaan ritel yang sedikit menangani pengecekan palsu tidaknya barang mewah, dengan harga langganan $99 per bulan. Hingga paket entrerprise dengan fitur-fitur khusus yang dikehendaki perusahaan dengan harga langganan disesuaikan dengan kekhususan yang diinginkan. Guna memulai berlangganan Entrupy, perusahaan yang hendak berlangganan dikenakan pula tarif set-up senilai $299.
Entrupy didirikan oleh Vidyuth Srinivanas, Ashlesh Sharman dan Lakshminarayanan Subramanian pada tahun 2012 lalu. Tahun di mana teknologi computer vision berkembang lebih baik. Entrupy merupakan bagian startup yang menggunakan kelanjutan perkembangan teknologi computer vision. Computer vision, secara teknis, merupakan cara bagaimana sebuah komputer merekonstruksi objek 2D, 3D, ataupun objek citra lainnya, secara matematis.
Sebuah pertanyaan yang diajukan Marvin Minsky, peneliti di Massachusetts Institute of Technology, pada 1966 pada mahasiswanya bernama Gerald Jay Sussman, mendeskripsikan dengan baik tentang computer vision. Saat itu, Minsky bertanya “bagaimana menghubungkan kamera ke komputer dan membuat komputer menggambarkan apa yang dilihatnya."
Dalam sejarahnya, Larry Roberts dari Massachusetts Institute of Technology merupakan pelopor di bidang computer vision. Pada dekade 1960an, ia mempelajari bagaimana cara mengekstrasi data 3D dari perspektif 2D.
T.S. Huang dalam jurnalnya berjudul “Computer Vision: Evolution and Promise” mengungkapkan, computer vision memiliki dua tujuan. Pertama, dari pendekatan biologis, computer vision diharapkan mampu untuk menghasilkan model komputasi dari sistem penglihatan manusia. Kedua, dari pendekatan teknik, computer vision diharapkan mampu membangun sistem otomatis yang dapat melakukan tugas yang dilakukan penglihatan manusia.
Computer vision hingga hari ini belumlah benar-benar sempurna. Huang mengungkapkan, ketidaksempurnaan computer vision terutama menyangkut perbandingan hasil kerja yang telah dilakukan computer vision dengan hasil kerja yang dilakukan mata manusia. Mata manusia dapat mengenali objek dengan berbagai variasi pencahayaan, sudut pandang, ekspresi, dan lain sebagainya dengan terlihat mudah. Computer vision, belum dapat menyamai kemampuan mata manusia tersebut.
Meskipun belum sukses bekerja selayaknya mata manusia, atas kehadiran kecerdasan buatan atau AI, computer vision dianggap akan mendapatkan hasil menjanjikan di kemudian hari. Mengutip The New York Times, computer vision hari ini ibarat seorang bocah kecil. Namun, ia akan tumbuh besar dan menjadi sosok cerdas. Computer vision pun akan mengalami hal yang serupa di kemudian hari.
Baca juga:Masa Depan di Tangan AI
Masuknya AI pada computer vision jelas merupakan pembeda yang signifikan. Melalui AI, computer vision diajari tanpa mengatur, bagaimana ia mengenali objek. Mirip seperti cara kerja AI di bidang lain. Dalam computer vision, AI bekerja memanfaatkan ribuan bahkan jutaan basis data berupa gambar dengan berbagai rupa. Ribuan dan jutaan gambar itu digunakan sebagai basis pengetahuan tentang objek yang akan dikenali.
ImageNet, proyek yang dilakukan beberapa peneliti Stanford University dan Princenton University, merupakan contoh bagaimana basis data digunakan untuk mengembangkan computer vision berbasis AI. ImageNet memiliki basis data berupa gambar sebanyak 14 juta unit yang terbagi dalam 22 ribu kategori. Gambar kucing, memiliki 62 ribu unit dengan berbagai ragamnya. Ini jelas membantu AI pada computer vision, seperti apa sesungguhnya “sosok” kucing untuk dikenali oleh computer vision.
Facebook, media sosial nomor 1 dunia, melakukan suatu hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan ImageNet. Kala seorang pengguna mengunggah foto bersama kawan-kawannya, ia lantas akan disuguhi fitur auto-tagging pada wajah teman-temannya yang terpaut dalam frame foto. Kemampuan auto-tagging Facebook, terjadi berkat adanya basis data foto pengguna Facebook.
Baca juga:HyperFace si Pengecoh Kamera Pengenal Wajah
Bagaimana dengan Entrupy? Aplikasi ini bekerja selayaknya fitur auto-tagging padaFacebook. Dalam jurnal berjudul “The Fake vs Real Goods Problem: Microscopy and Machine Learning to the Rescue” yang ditulis Ashlesh Sharma dan disponsori oleh Entrupy, Entrupy bekerja dengan memanfaatkan perangkat mikroskopi berlensa lebar.
Alat itu kemudian digunakan untuk merekam gambar pada benda yang ingin diperiksa keasliannya. Entrupy, mengklaim bahwa gambar yang ditangkap lalu direkam, dan diperbesar antara 100 hingga 300 kali. Dengan pembesaran itu, Entrupy dapat memperoleh detail objek yang lebih presisi daripada apa yang dilihat mata manusia.
Sebagai bagian computer vision yang berkekuatan AI, Entrupy pun bekerja mengikuti cara kerja AI, Entrupy memiliki 3 juta basis data gambar untuk mengajari algoritma bagaimana memahami asli atau palsu suatu objek.
Prinsip dasarnya, Entrupy memanfaatkan karakteristik visual untuk mendeteksi asli atau tidaknya suatu produk. Pengertian karakteristik visual di sini ialah karakteristik yang terjadi akibat dari standardisasi pembuatan produk yang dilakukan di pabrik atau tempat pembuatan si produk. Pembesaran gambar hingga 100-300 kali, mampu membuka karakteristik visual dari suatu produk.
Entrupy mengklaim bisa mendeteksi asli atau tidaknya suatu barang dari 11 merek fashion ternama hingga keakuratannya 98 persen. Kehadiran Entrupy merupakan angin segar bagi pecinta barang-barang bermerek agar tak mudah tertipu termasuk perusahaan ritel. Persoalan barang “kw” atau palsu sudah jadi permasalahan global. Sebanyak 7 persen masalah perdagangan global berhubungan dengan pemalsuan barang.
Atas permasalahan ini, banyak cara dilakukan melawannya. Stiker hologram ataupun sertifikat keaslian yang dikeluarkan produsen merupakan cara-cara konvensional produsen melawan pemalsuan. Diprediksi pada 2017, produsen fashion mengeluarkan investasi $6,15 miliar untuk menerapkan teknologi anti pemalsuan di produk-produk mereka..
RealReal dan Vestiaire Collective, dua e-commerce yang menjual barang bekas khusus merek-merek premium bahkan merekrut profesional khusus yang bertugas memeriksa asli tidaknya sebuah barang. Kehadiran Entrupy, akan membuat kerja perusahaan seperti RealReal dan Vestiaire Collective akan menjadi efektif dan efisien.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra